Wednesday, April 11, 2007

Jawa Pos, 11 April 2007

Problem Komunikasi Pejabat Negara


Oleh Ahmad Faisol

TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.

Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).

Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.

Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.

Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.

Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.

Kredibilitas Pejabat

Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.

Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.

Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.

Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.

Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.

Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.

Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.

Mekanisme Ombudsman Media

Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.

Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.

Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.

Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.

Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.


Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta

Jawa Pos, 11 April 2007

Problem Komunikasi Pejabat Negara


Oleh Ahmad Faisol

TV Australia, Nine Network, pada berita edisi 1 April 2007 menayangkan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda.

Menurut Tatang, ada percekcokan pilot dengan kopilot sebelum Garuda 200 celaka pada 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dahulu karena masih kecepatannya tinggi. Namun, sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).

Sehari kemudian (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan itu adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan, dia menuduh TV Australia itu memelintir pernyataannya. Dia mengharapkan dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarai dirinya untuk membuktikan pernyataannya.

Menurut saya, contoh tersebut menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh bahwa pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.

Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan menerima peringatan sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi, Menristek dibombardir di sana sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar.

Bahkan, dia berencana mengirimkan somasi kepada media Amerika yang memberitakan pernyataannya. Namun, akhirnya berita itu hilang ditelan persoalan lain.

Kredibilitas Pejabat

Dua contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik berada pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi, media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita.

Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Misalnya, jabatan Tatang Kurniadi sebagai ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.

Jika pejabat publik siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan. Kesiapan itu, misalnya, harus mengetahui batas-batas yang boleh dibuka kepada publik dan yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat terjebak pertanyaan wartawan sehingga keceplosan memberikan jawaban.

Seperti kasus ketua KNKT itu. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka, berarti apa yang dilakukan Tatang Kurniadi adalah sebuah keceplosan.

Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika berbicara kepada wartawan, hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan. Kecuali, pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Karena itu, pejabat publik harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.

Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau dikonter dengan berita berikutnya. Tapi, bukan berarti serta merta akan menutup berita yang dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahan. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.

Kondisi itu akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri, publik akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita bisa-bisa dia akan mendapat cap mencla-mencle dari masyarakat.

Mekanisme Ombudsman Media

Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua, yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media.

Jika memang ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia, seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.

Faktanya, ketika ketua KNKT pasif, publik tidak mudah mempercayai bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang dia sampaikan kepada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.

Dalam kondisi demikian, ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan, yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur itu akan membuktikan apakah pernyataan ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi, termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.

Bagi media, mekanisme ombudsman itu akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.


Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta

Monday, April 02, 2007

Tulisan KNKT

Problem Komunikasi Pejabat dan Mekanisme Ombudsman Media

Ahmad Faisol

TV Australia, Nine Network dalam berita edisi 1 April 2007 memberitakan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda. Menurut Tatang, ada percekcokan antara pilot dan co pilot sesaat sebelum Garuda 200 celaka 7 Maret 2007. Kopilot mengingatkan agar pesawat tidak langsung mendarat dan sebaiknya berputar-putar dulu karena kecepatannya masih tinggi. Sebaliknya, pilot memutuskan untuk landing. Hal itu mengakibatkan hilangnya konsentrasi saat mendekati landasan (Jawa Pos, 2 April 2007).

Sehari sesudahnya (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan dia menuduh TV Australia itu telah memelintir pernyataannya. Dia berharap dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarainya untuk membuktikan pernyataannya.

Menurut saya adanya contoh di atas menunjukkan adanya problem komunikasi pejabat kita ketika berhubungan dengan media massa. Sudah banyak contoh dimana pejabat membantah berita yang memuat pernyataannya.

Kita masih ingat bagaimana Menristek Kusmayanto Kadiman yang juga membantah pemberitaan Associated Press (AP). Saat itu, Menristek diberitakan telah menerima peringatan, sesaat sebelum terjadi bencana tsunami di Pantai Selatan Jawa (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Tak ayal lagi Menristek dibombardir di sana-sini akibat kelalaiannya tersebut. Menristek kemudian sibuk menjelaskan bahwa berita itu tidak benar. Bahkan dia berencana mengirimkan somasi terhadap media Amerika yang memberaitakan pernyataannya. Namun akhirnya berita ini hilang ditelan persoalan lainnya.

Kredibilitas Pejabat
Berdasar dua contoh di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa problem komunikasi media pejabat publik terletak pada kesiapan mereka ketika melayani rentetan pertanyaan media. Pejabat publik pasti akan menjadi incaran wartawan untuk dijadikan sumber berita. Apalagi media massa lebih mengutamakan aspek prominence (keterkenalan) ketika memilih sumber berita. Terlebih jika pejabat tersebut memiliki kompetensi tinggi dalam sebuah peristiwa. Seperti jabatan Tatang Kurniadi sebagai Ketua KNKT yang memegang kunci pengungkapan kasus kecelakaan transportasi.

Jika pejabat public siap menghadapi serbuan media, tentunya kegiatan membantah berita media tak perlu mereka lakukan lagi. Kesiapan itu misalnya pejabat harus mengetahui batas-batas mana yang boleh dibuka kepada publik dan mana yang tidak boleh diekspose. Jangan sampai pejabat tersebut “terjebak” oleh pertanyaan wartawan sehingga “keceplosan” dalam memberikan jawaban. Seperti kasus ketua KNKT tersebut. Jika memang hasil investigasi KNKT tidak boleh dibuka berarti apa yang dilakukan oleh Tatang Kurniadi adalah sebuah “keceplosan”.

Di sini seorang pejabat harus menyadari bahwa ketika dia berbicara dengan wartawan maka hakikatnya dia berbicara dengan publik. Media berhak memberitakan apa yang mereka sampaikan Kecuali jika pejabat itu sejak awal sudah memberikan penegasan pernyataannya adalah pernyataan off the record. Oleh sebab itu pejabat public harus benar-benar mempersiapkan diri ketika memberikan pernyataan melalui media.

Pejabat juga harus menyadari bahwa pemberitaan media tidak mudah untuk dicabut dan diluruskan kembali. Memang, sebuah berita dapat dibantah atau di-counter dengan berita berikutnya. Tapi bukan berarti serta-merta akan menutup berita yang telah dilansir sebelumnya. Tidak ada jaminan orang yang telah mengetahui berita sebelumnya juga akan membaca berita bantahannya. Apalagi jika opini publik sudah terbentuk.

Kondisi ini akan berimplikasi kepada kredibilitas sang pejabat dan informasi yang dia berikan. Jika dia selalu membantah pernyataan yang telah dikemukakan sendiri maka public akan dapat menilai pejabat tersebut tidak konsisten. Alih-alih meluruskan berita, bisa-bisa dia akan mendapat cap “mencla-mencle” dari masyarakat.

Mekanisme Ombudsman Media
Ini membawa kita pada problem komunikasi media pejabat kita yang kedua yaitu tidak adanya kesiapan ketika harus memulihkan kredibilitasnya di mata publik. Pejabat tidak memiliki sebuah strategi komunikasi ketika berhadapan dengan media. Jika memang Ketua KNKT merasa tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang diberitakan TV Australia maka seharusnya dia aktif melakukan strategi komunikasi media, bukannya pasif menunggu ditanya media. Akan lebih baik jika ketua KNKT berinisiatif melakukan jumpa pers atau mengirimkan siaran pers, ketimbang hanya menunggu konfirmasi wartawan.

Faktanya, ketika Ketua KNKT pasif, publik tidak mudah percaya dengan bantahan yang dia berikan. Terlebih bukti pernyataan yang ia sampaikan pada TV Australia sangat mudah didapatkan. Publik pun akan mudah menilai apakah ketua KNKT berbohong atau tidak.

Dalam kondisi demikian Ketua KNKT seharusnya menempuh prosedur lain yang lebih elegan yaitu membuat pengaduan kepada ombudsman media yang bersangkutan. Prosedur ini akan membuktikan apakah pernyataan Ketua KNKT yang dimuat TV Australia benar adanya atau sebuah rekayasa belaka. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan apakah berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.

Cara ini saya kira akan lebih memberikan manfaat kepada pejabat dan media serta publik. Bagi pejabat ini dapat mengembalikan kredibilitasnya. Bila ombudsman menyatakan dirinya yang benar, otomatis medianya salah, dengan sendirinya akan mengembalikan kredibilitasnya.

Bagi media, mekanisme ombudsman ini akan menjadi pertanggungjawaban dirinya kepada publik. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Ombudsman memungkinkan media menjaga kepercayaan publik.

Bagi publik, cara ini juga memungkinkan untuk mengetahui apakah berita yang diturunkan media benar atau tidak. Selama ini ketidakpuasan atas pemberitaan media diselesaikan dengan pengadilan atau cara “damai” melalui pemberian hak jawab. Kedua cara itu tidak pernah memberikan kejelasan apakah berita media tersebut benar atau tidak. Persoalannya berani tidak kita melakukannya.

Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.
Dikirim ke Harian Jawa Pos

Tuesday, March 27, 2007

Tulisan KPI

Menjelang Berakhirnya Masa Jabatan Anggota KPI:
Harapan Untuk KPI

Ahmad Faisol



Tidak terasa masa jabatan pengurus KPI Pusat sudah hampir berakhir. Pendaftaran untuk calon anggota KPI Pusat yang baru sudah dibuka sampai akhir bulan Agustus ini. Kita memang belum tahu siapa sosok-sosok yang ikut mencalonkan diri menjadi anggota KPI. Kita juga belum tahu apakah anggota KPI yang lama mencalonkan diri atau tidak. Namun kita perlu merenungkan kembali apa yang telah dilakukan KPI dalam periode jabatan yangh kemarin.

Hal ini perlu dilakukan mengingat KPI merupakan institusi yang dilahirkan dan mendapatkan mandat dari UU nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) untuk menciptakan terbentuknya system penyiaran yang demokratis. Mandat ini sekaligus menugaskan KPI untuk menjamin system penyiaran yang terbangun selalu bersifat demokratis dalam arti berpihak kepada kepentingan public. Sebab, frekuensi yang menjadi basis material stasiun penyiaran merupakan ranah public yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan public. Maka, ketika kita merenungkan perjalanan KPI kita harus selalu mengacu kepada pertanyaan sudahkah KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis? Lalu jika sudah, mampukah KPI menjaga system penyiaran yang sudah mereka bangun?

Sistem Penyiaran Dalam UU Penyiaran
Menilai apakah KPI sudah menciptakan system penyiaran yang demokratis, kita harus melihat bagaimana system penyiaran yang diamanatkan oleh UU Penyaiaran. Dalam undang-undang tersebut berusaha mendemokratiskan system penyiaran dengan menciptakan keragaman informasi melalui stasiun penyiaran local. Ini sebagai antitesa dari system penyiaran saat ini khususnya televise yang lebih bersifat sentralistik Hampir seluruh stasiun televise yang ada adalah televise nasional. Dengan system penyiaran local maka ada harapan untuk mendobrak homogenisasi tayangan Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca. Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.

Selain mewajibkan stasiun penyiaran berbasis local, untuk menjaga keragaman informasi yang diperoleh oleh public UU Penyiaran juga membagi stasiun penyiaran menjadi empat yaitu: stasiun penyiaran swasta, stasiun penyiaran public, system penyiaran komunitas, dan stasiun penyiaran berlangganan. Pembagian ini diharapkan menerobos dominasi rating sebagai parameter tayangan. Dengan karakteristik stasiun penyiaran yang berbeda seluruh masyarakat dengan berbagai keragamannya akan dapat terlayani oleh stasiun penyiaran. Tidak seperti selama ini dimana hanya tayangan yang memiliki rating tinggi dan mampu mendatangkan pemasukan iklan lah yang akan ditayangkan. Sesuatu yang wajar sebenarnya mengingat stasiun penyiaran yang ada adalah stasiun penyiaran swasta dimana mereka menggantungkan hidupnya dari pemasukan iklan yang ada.

Menengok Kiprah KPI
Sejak dibentuk tahun 2003, KPI tidak serta-merta dapat melaksanakan tugasnya menciptakan system penyiaran demokratis seperti diamanatkan UU Penyiaran di atas. Malah dapat dikatakan dalam periode empat tahun ini, KPI terutama KPI PUsat serasa menempuh jalan terjal. Secara kelembagaan, mereka harus menata internalnya sendiri seperti menata infrastruktur organisasi dan menangani pembentukan KPI Daerah (meski yang memilih DPRD Propinsi dan Gubernur). Di sini ketegangan KPI dan Depkominfo (dulu Menegkominfo) sudah terjadi. Dukungan Depkominfo terhadap KPI di awal masa pembentukannya dari sisi anggaran sangatlah minim. Bahkan selama setahun pertama anggota KPI tidak mendapatkan gaji meski kemudian itu dirapel di tahun kedua. Tapi, hal itu telah menyebabkan kurang maksimalnya kinerja KPI.

Konflik dengan Depkominfo nampaknya terus terjadi dalam perjalanan KPI kemarin. Selain minimnya anggaran, KPI dan Depkominfo memperebutkan kewenangan perijinan. Konflik yang bermula dari keluarnya PP Penyiaran yang mengebiri kewenangan KPI dalam mengatur stasiun penyiaran khususnya dalam hal perijinan. Saking kerasnya, konflik inipun menyeret keterlibatan Komisi I DPR dan kalangan masyarakat sipil. Sebagian besar mereka menyayangkan keluarnya PP Penyiaran ini.

Selain Depkominfo, kalangan industri juga mempersoalkan eksistensi KPI. Mereka sempat mengajukan judicial review UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu permohonannya adalah menghapus keberadaan KPI. Meski MK kemudian meneguhkan eksistensi KPI, namun sudah terjadi ketegangan KPI dengan industri penyiaran sebagai pihak yang mereka atur.

Habisnya energi KPI untuk menghadapi hal di atas, telah menyebabkan kurang maksimalnya upaya KPI menciptakan system penyiaran yang demokratis. Dari sekian banyak regulasi yang harus dibuat KPI yang paling dikenal public mungkin peraturan KPI mengenai standar pedoman perilaku penyiaran. Namun dari sisi keragaman informasi melalui system penyiaran berbasis local dan karakteristik penyiaran yang berbeda tidak tersentuh oleh KPI. Memang, sekarang sudah banyak stasiun penyiaran local. Namun keberadaan mereka telah ada sejak sebelum KPI lahir. Stasiun penyiaran local bahkan ikut mendorong lahirnya UU Penyiaran yang artinya ikut mendorong lahirnya KPI. Selain itu, keberadaan stasiun penyiaran local didominasi oleh stasiun penyiaran swasta. Kita pantas untuk khawatir melihat fenomena ini. Oleh karena bukan tidak mungkin problem keseragaman yang terjadi pada stasiun penyiaran nasional akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.

Bahkan untuk menciptakan stasiun penyiaran local langkah Depkominfo sedikit lebih maju. Depkominfo berencana untuk “memaksa” stasiun penyiaran nasional melakukan merger guna memberikan alokasi frekuensi kepada stasiun penyiaran local. Padahal bagi stasiun penyiaran swasta yang bersifat komresial, merger atau tidak hanya didasarkan pada pertimbangan bisnis.

Harapan KPI Ke Depan
Ke depan, tentunya kita berharap KPI dapat memfokuskan upayanya menciptakan system penyiaran yang demokratis. KPI diharapkan bukan hanya sekedar “menciptakan” stasiun penyiaran local namun lebih dari itu KPI harus mendorong adanya representasi empat karakteristik stasiun penyiaran seperti dimanatkan UU Penyiaran. Adanya stasiun penyiaran dalam semua krakteristik selain akan mampu menjawab problem keseragaman, juga akan menjawab persoalan pendidikan public oleh stasiun penyiaran. Kehadiran stasiun penyiaran dengan ragam karakteristiknya diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi.

Harapan lain dalam menciptakan stasiun penyiaran demokratis adalah kemampuan KPI untuk mendorong adanya “self regulation” di kalangan stasiun penyiaran. Ini yang belum dilakukan oleh KPI. Malah KPI berusaha mengatur content televise dengan membuat peraturan mengenai standar perilaku penyiaran. Seharusnya KPI tidak mengatur content stasiun penyiaran akan tetapi lebih mendorong bagaimana stasiun penyiaran mengatur dirinya sendiri dalam hal standar tayangan televise. Sehingga dalam system penyiaran akan ada semacam “dewan pers” di media cetak yang menjadi tempat masyarakat untuk menyalurkan pengaduannya terhadsap tayangan televise.

Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta

.
Menuju Konsumen Televisi Yang Berdaya

Ahmad Faisol


Ada beberapa kejadian menarik berkaitan dengan tayangan televisi. Pertama, Nahdlatul Ulama’ dalam forum bahtsul masa’il berencana mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment. Meskipun fatwa itu akhirnya tidak diuputuskan dalam forum itu, namun sempat menjadi perbincangan yang cukup hangat di media massa. Kedua, demo yang dilakukan oleh Barisan Muda PAN (BM PAN) ke Trans TV. Mereka memprotes tayangan Selebriti Juga Manusia episode yang dibintangi Gusti Randa dan Nia Paramita karena dianggap mendiskreditkan PAN khususnya Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir. Ketiga, NU mengancam akan memboikot tayangan televisi.

Kita mungkin secara gampang dapat memaknai kejadian tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap kreativitas dan kemerdekaan media massa khusunya televisi dalam memberikan tayangan kepada masyarakat. Atau kita juga dapat mengatakan NU atau BM PAN kurang kerjaan karena mengurusi hal yang remeh seperti infotainment dan tayangan sinetron. Padahal masih banyak masalah besar lain yang dihadapi bangsa ini seperti korupsi dan sebagainya. Namun, kita juga dapat memaknai tindakan NU dan BM PAN itu sebagai bentuk berdayanya konsumen televisi dalam relasinya dengan stasiun televisi sebagai produsen acara. Terlebih televisi menggunakan basis material gelombang elektromagnetik yang merupakan ranah publik, sehingga mereka harus selalu mengutamakan kepentingan publik.

Relasi Stasiun Televisi, Konsumen, Pengiklan
Dalam sistem penyiaran swasta, yang mendominasi stasiun penyiaran yang ada di Indonesia, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang dapat dilihat dari interaksi antara stasiun televisi, konsumen acara dan pengiklan. Stasiun televisi harus mampu memproduksi acara atau program siaran sesuai dengan selera khalayak sehingga mampu menarik pengiklan. Ini yang menjadi parameter utama sebuah program acara untuk ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Jika acara tersebut mampu menyedot pehatian masyarakat untuk menonton maka acara ini akan terus ditayangkan karena otomatis mendatangkan pemasukan iklan. Banyak sedikitnya masyarakat yang menonton cara dilihat melalui rating acara tersebut. Itulah kenapa rating menjadi Tuhan bagi orang TV untuk menentukan acara.

Di sini sebenarnya masyarakat sebagai konsumen televisi memiliki kekuatan untuk menentukan acara seperti apa yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Ada tiga level kekuatan masyarakat. Pertama, masyarakat dapat memilih menggunakan saluran televisi atau saluran non media atau televisi untuk memenuhi kebutuhannya khususnya kebutuhan akan informasi dan hiburan. Kedua, jika memilih saluran televisi, masyarakat dapat memilih saluran televisi mana yang akan mereka tonton dari sekian banyak stasiun televisi yang ada. Ketiga, masyarakat dapat menentukan sebuah acara terus ditayangkan atau tidak dengan pilihannya untuk menonton acara tersebut.

Namun, relasi antara konsumen, stasiun televisi dan pengiklan bukanlah relasi yang setara. Stasiun televisi masih dalam taraf “menjual” masyarakat yang menjadi konsumennya untuk mendatangkan pemasukan iklan yang sebesar-besarnya. Stasiun televisi membutuhkan masyarakat hanya untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang menonton acara tersebut. Dengan kata lain masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek jualan tanpa pernah memperdulikan apakah acara yang mereka tayangkan ini memberi manfaat bagi masyarakat atau tidak.

Belenggu Rating
Stasiun televisi terjebak kepada belenggu rating yang telah menjadi Tuhan dalam mekanisme berjalannya stasiun televisi swasta. Rating hanya melihat banyak-sedikitnya jumlah penonton. Dan pengiklan pun hanya melihat rating acara sebagai pertimbangan utama untuk memutuskan mesang iklan atau tidak. Sehingga ketika tayangan televisi penuh dengan tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan, stasiun televisi hanya bisa berkilah masyarakat menghendaki hal tersebut yang mereka buktikan dengan tingginya rating acara tersebut.

Berbagai acara televisi memang diisi dengan acara-acara seperti itu. Sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi. Sekali lagi, rating menunjukkan tayangan seperti ini sangat digemari oleh masyarakat.

Pemberdayaan Konsumen Televisi
Maka untuk menyeimbangkan relasi antara stasiun televisi, konsumen dan pengiklan harus tercipta sebuah konsumen televisi yang berdaya. Dimana, mereka tidak hanya sebatas mengkonsumsi acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi, tapi juga mampu bertindak kritis jika memang acara yang ditayangkan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi publik. Sebenarnya aktivitas media watch sudah sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media, dan advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media telah cukup memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun sayangnya, aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat cenderung pasif.

Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring tentang media -mana saja yang tidak professional dan melanggar etika- atau sebatas mengadukan media-media yang tidak professional dan melanggar etika pada institusi yang relevan. Posisi masyarakat harus diperkuat dengan literasi media, yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat, dan memaknai serta menyerap pesan media.

Kini, ketika NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah “turun gunung” kita dapat berharap gerakan pemberdayaan konsumen televisi ini menjadi semakin massif. Ancaman NU memboikot tayangan televisi diharapkan menjadi trigger bagi masyarakat lain untuk tidak hanya sekedar menjadi penonton televisi. Ancaman NU ini akan semakin berpengaruh jika ditunjang dengan pemberdayaan di kalangan nahdliyin seluruhnya. Jika ini terjadi, pengelola televisi pun tidak bisa sekedar berkilah masyarat menghendaki tayangan itu. Mereka harus benar-benar memperhatikan manfaat apa yang akan diperoleh publik dari tayangan tersebut.

Penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi Jakarta.

Tulisan RUU KMIP

Jalan Terang Pembahasan RUU KMIP

Rapat Kerja Komisi I DPR dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), yang berlangsung Senin, 5 Februari 2007 menyepakati pembentukan Komisi Informasi. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Selama ini, Menkominfo Sofyan Djalil ngotot menolak keberadaan Komisi Informasi.

Dalam Rapat Kerja antara Komisi I DPR dengan Menkominfo dan Menhukham 20 Juni 2006 yang membahas Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP), Menteri Sofyan Jalil menyatakan menolak keberadaan badan informasi publik yang bersifat independen atau yang lebih dikenal dengan Komisi Informasi. Menkominfo beralasan komisi-komisi independen yang sudah ada sebelumnya tidak efektif kinerjanya dan lebih terkesan menghabiskan anggaran serta bagi-bagi jabatan.

Bahkan dalam rapat kerja pembahasan RUU KMIP sebelumnya, 29 Januari 2007, Menteri Sofyan Djalil masih menyodorkan konsep panitia ad hoc untuk penyelesaian sengketa informasi. Oleh karena itu, sikap menteri menerima Komisi Informasi merupakan sebuah langkah maju. Kita harus memberi penghargaan atas sikap Menteri Sofyan Djalil ini.

Komisi Informasi dalam UU KMIP
Keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP bukanlah bentuk kelatahan mengikuti fenomena pembentukan komisi independen dalam setiap undang-undang. Komisi Informasi merupakan pilar pelaksana UU KMIP. Komisi ini memiliki tugas untuk membuat standar-standar penyediaan informasi publik oleh badan publik dan memiliki wewenang dalam hal penyelesaian sengketa akses informasi.

Informasi memiliki sifat dinamis dan berubah dengan cepat. Sesuatu yang hari ini dianggap aktual, minggu depan atau bulan depan sudah dianggap sesuatu yang basi. Oleh karenanya, badan penyelesaian sengketa informasi harus memiliki karakteristik independen, murah, sederhana, dan cepat. Jika melihat praktek lembaga peradilan di Indonesia, hampir tidak mungkin sengketa informasi diselesaikan di sana. Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan memerlukan waktu dan proses yang lama.

Selain itu, pengaturan jenis-jenis informasi yang dapat diakses oleh publik atau yang dikecualikan tidak dapat diserahkan kepada badan publik itu sendiri. Badan publik merupan obyek yang diatur oleh undang-undang ini. Jika pengaturan mengenai informasi yang boleh dibuka atau tidak diserahkan pada mereka, muncul kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Berdasarkan argumen tersebut, kita dapat menyebut Komisi Informasi sebagai ruh pelaksana UU KMIP. Tanpa Komisi Informasi, UU KMIP akan seperti wayang ilang gapite.

Komisi Informasi di Berbagai Negara
Negara-negara lain yang telah memiliki UU KMIP juga memiliki Komisi Informasi dengan berbagai nama dan kewenangannya. Komisi Informasi di negara-negara tersebut umumnya memiliki tugas melakukan pemantauan jalannya pelaksanaan UU KMI serta tugas-tugas lain yang lebih aluas. Di Inggris, Komisi Informasi berwenang melakukan penyelidikan atas pengaduan dari peminta informasi yang ditolak permintaannya. Demikian halnya di Kanada. Bahkan Komisi Informasi Kanada juga berwenang menghadap dan mengajukan pengaduan kepada lembaga pengadilan mengenai penolakan lembaga pemerintah untuk melepaskan informasi.

UU KMIP Afrika Selatan memberaikan kewenangan kepada Komisi Informasi di sana untuk melakukan sosialisasi keberadaan UU KMIP dan setiap tahun harus meninjau kembali keberadaan undang-undang tersebut. Komisi Informasi Afrika Selatan juga berwenang meninjau proses legislasi undang-undang lain yang mempunyai dampak terhadap kebebasan informasi. Pengalaman negara lain tersebut menunjukkan betapa krusialnya keberadaan Komisi Informasi dalam UU KMIP.

Mengawal Komisi Informasi
Kita memang patut menyambut baik sikap pemerintah menerima keberadaan Komisi Informasi. Ini dapat menjadi titik terang dalam percepatan proses legislasi RUU KMIP. Salah satu hal yang diperkirakan menjadi penghambat proses pembahasan RUU KMIP adalah tarik-ulur mengenai keberadaan Komisi Informasi. Sehingga hilang sudah satu hambatan ini.

Namun demikian, bukan berarti pengawalan proses legislasi RUU KMIP berhenti di sini. Saat ini, proses legislasi RUU KMIP masih dalam tahap pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM). Selanjutnya masih harus menempuh tahap panitia kerja (panja) dan penetapannya di Rapat Paripurna. Masyarakat harus mengawal proses ini agar substansi UU KMIP yang dihasilkan nanti tidak mengebiri keberadaan komisi ini. Artinya, jangan sampai pengaturan mengenai Komisi Informasi hanya sekedar menjadi tempelan pemanis UU KMIP.

Pasca pengesahan UU KMIP, masyarakat pun harus terus mengawal Komisi Informasi untuk menjamin mereka dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kita dapat belajar dari pengalaman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga yang diharapkan mampu menjadi badan pengatur lembaga penyiaran harus tertatih-tatih karena kewenangannya dipangkas oleh pemerintah. Pemerintah memang menerima keberadaan KPI. Tapi, dalam peraturan pemerintah yang menjadi wewenangnya, KPI dibonsai agar tidak dapat berfungsi secara maksimal. Tak mengherankan jika selama periode 2002-2006, KPI senantiasa sibuk menghadapi konflik dengan pemerintah dan tugas utamanya pun tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dari pengalaman tersebut, pengesahan UU KMIP tidak dapat dijadikan sebagai dari akhir pengawalan proses legislasi RUU KMIP. Masyarakat sipil juga harus memberikan perhatian kepada pembuatan peraturan turunan sebagai pelaksanaan UU KMIP. Bahkan ketika nanti Komisi Informasi sudah bertugas pun, pengawalan harus dilakukan untuk memastikan terjaminnya hak masyarakat mengakses informasi publik. Tentu saja dengan mudah, murah, dan cepat.

Ahmad Faisol,
penulis bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta, aktif di Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.

Thursday, July 20, 2006

Peringatan Bencana dan Hak Masyarakat Memperoleh Informasi

Bencana tsunami yang melanda Pantai Selatan Jawa ternyata sudah diprediksikan sebelumnya. Menristek Kusmayanto Kadiman mengakui telah menerima peringatan adanya tsunami dari dua lembaga regional: Pacific Tsunami Warning Center dan Badan Meteorologi Jepang (Jawa Pos, 19 Juli 2006). Namun peringatan itu tidak pernah disampaikan kepada masyarakat. Menteri Kusmayanto beralasan tidak memiliki system yang otomatis seperti loudspeaker atau SMS untuk menyampaikan informasi tersebut. Selain ada kekhawatiran akan menimbulkan kepanikan masyarakat sementara bencana tsunami belum tentu terjadi.

Kita patut mengecam sikap Menristek yang tidak mengumumkan peringatan kemungkinan adanya tsunami kepada masyarakat. Kita mungkin dapat berandai-andai seandainya Menristek mengumumkan peringatan adanya tsunami tentu jumlah korban jiwa yang cukup besar dapat dihindari. Namun terlepas benar tidaknya pengandaian tersebut, sikap Menristek tersebut membuktikan adanya keengganan pejabat untuk memberikan informasi public kepada masyarakat. Di sini terlihat ada problem pada transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.

Problem Transparansi
Problem transparansi pemerintahan telah menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Dalam menyelenggarakan keuasaan pemerintahan, pemerintah telah menjadikan dirinya sebagai rejim ketertutupan dan kerahasiaan yang terpisah dari masyarakat. Artinya pemerintah tidak membuka dirinya dan tidak memberikan akses informasi kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak dapat mengontrol jalannya pemerintahan karena tidak cukup memiliki pemahaman dan informasi.

Bahkan untuk informasi yang menyangkut keselamatan jiwa dan hilangnya harta benda masyarakat pun pemerintah masih tidak mau membuka informasi. Seperti sikap menristek di atas. Alasan bahwa jika peringatan disampaikan akan menimbulkan kepanikan di masyarakat terlebih jika tsunami tidak terjadi bukanlah sebuah pembenaran. Entah terjadi atau tidak, seharusnya pemerintah berkewajiban megumumkannya kepada masyarakat Pemerintah harus bersikap sedia payung sebelum hujan. Tidak seperti sekarang ini, ketika bencana sudah terjadi barulah peringatan itu dibuka kepada public.

Jika alasan seperti ini yang disampaikan kita pun patut curiga bahwa pemerintah juga sengaja tidak mengumumkan status Yogyakarta sebagai daerah rawan bencana dengan alasan daerah tersebut pariwisata. Baru setelah bencana terjadi, barulah masyarakat mengetahui bahwa Yogyakarta ternyata berada di daerah rawan bencana. Kecurigaan yang sama juga dapat dialamatkan untuk kasus Lumpur yang melanda Porong, Sidoarjo. Apakah masyarakat Porong memang sudah mendapatkan informasi bahwa ketika ada penambangan di daerahnya maka dapat timbul akibat luapan lumpur panas yang seperti terjadi sekarang ini. Lalu jika terjadi luapan lumpur panas langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh masyarakat. Termasuk kompensasi seperti apa yang diperoleh masyarakat dan bagaiman mekanisme memperolehnya. Melihat penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo yang berlarut-larut nampaknya masyarakat tidak mendapatkan informasi memadai mengenai hal ini. Selain contoh tersebut banyak sekali contoh kasus yang menunjukkan betapa pejabat atau pemerintah enggan memberikan informasi publik kepada masyarakat.


Problem Hak Masyarakat Memperoleh Informasi
Selain problem transparansi, uraian di atas juga menunjukkan adanya problem hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Ada dua factor penyebab munculnya problem tersebut yang dapat dicatat di sini. Pertama, pejabat maupun pemerintah memperlakukan informasi sebagai hak miliknya. Konsekuensinya mereka dapat menentukan sendiri informasi mana yang akan disampaikan kepada masyarakat serta informasi mana yang mereka tahan. Sikap menristek yang tidak mengumumkan peringatan kemungkinan adanya tsunami, contoh nyata perilaku ini. Menristek dengan pertimbangan dan pemikirannya sendiri memutuskan peringatan yang dia peroleh tidak diumumkan kepada masyarakat, seakan-akan informasi tersebut adalah miliknya sendiri. Padahal sebagai pejabat public, mereka bukanlah pemilik informasi public melainkan hanya sebagai pengelola demi kebaikan masyarakat.

Faktor kedua, di Indonesia belum ada regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Termasuk di dalamnya pedoman bagi pejabat public memperlakukan sebuah informasi public sesuai dengan klasifikasinya. Ketiadaan pedoman perlakuan informasi menurunkan sikap pejabat public yang merasa memiliki informasi public. Sebenarnya di Indonesia banyak regulasi yang mengakui hak masyarakat untuk mengakses informasi public. Namun, karena tidak ada regulasi yang mewajibkan kepada pejabat public untuk memberikan informasi public maka hak ini seringkali diabaikan. Terlebih tidak ada sanksi bagi pejabat public yang lalai menyediakan informasi public bagi masyarakat. Di sini kita dapat bertanya adakah sanksi bagi menristek yang tidak mengumumkan informasi peringatan adanya tsunami sehingga ratusan jiwa menjadi korban.


Kebutuhan Akan Regulasi
Kejadian ini menunjukkan kepada kita adanya suatu kebutuhan akan adanya regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Konteks Indonesia, aturan mengenai hal tersebut sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah dalam bentuk RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP). Selain menjamin hak masyarakat memperoleh informasi, RUU usulan DPR ini memberikan pedoman kepada pejabat public memperlakukan informasi public. UU KMIP membagi informasi menjadi 4 jenis yaitu: informasi yang serta-merta harus diumumkan, informasi yang harus diumumkan segera, informasi yang secara rutin harus disampaikan dan informasi yang dikecualikan. Untuk informasi yang serta-merta harus diumumkan, pejabat public harus menyampaikannya kepada masyarakat tanpa menunggu apakah ada permintaan masyarakat atau tidak. Informasi mengenai peringatan bencana masuk dalam kategori ini sehingga jika undang-undang ini sudah berlaku, kita dapat menjerat kelalaian menristek ini.
Akhirnya, kita harus mendorong Komisi I DPR dan pemerintah agar segera menyelesaikan proses legislasi RUU KMIP agar di masa depan sikap pejabat public seperti yang telah ditunjukkan menristek ini tidak terulang lagi. Cukup sekali saja keteledoran pejabat yang membawa petaka korban ratusan jiwa.

Ahmad Faisol, bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.

Wednesday, July 19, 2006

Pernyataan Sikap Institut Studi Arus Informasi Mengecam Sikap Menristek Yang Tidak Mengumumkan Peringatan Bencana

SIARAN PERS:

Pernyataan Sikap
Institut Studi Arus Informasi
Mengecam Sikap Menristek Yang Tidak Mengumumkan Peringatan Bencana

Bencana tsunami yang melanda Pantai Selatan Jawa (Senin 17 Juli) kemarin ternyata sudah diprediksi 45 menit sebelumnya. Pemerintah telah menerima peringatan adanya gelombang tsunami yang akan melanda daerah tersebut di atas dari dua lembaga regional namun diabaikan. Mengutip Jawa Pos (19 Juli) Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman mengakui, sudah menerima peringatan dini dari Pacific Tsunami Warning Center dan Badan Meteorologi Jepang sesaat setelah terjadi gempa. "Tetapi, kami tidak mengumumkan warning itu. Kalau tsunami-nya tidak terjadi bagaimana?" kata Kadiman kepada wartawan seperti dikutip AP (Associated Press).

Sikap Menristek yang tidak segera mengumumkan bahaya tersebut sangat tidak ilmiah dan patut disesalkan. Jumlah korban jiwa yang besar akan dapat dihindari jika peringatan ini segera disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu Institut Studi Arus Informasi menyampaikan sikap sebagai berikut:

1. Berduka cita atas jatuhnya korban jiwa dan hilangnya harta benda akibat terjadinya bencana tsunami yang melanda Pantai Selatan Jawa.
2. Mengecam sikap Menristek yang tidak segera menginformasikan kemungkinan adanya tsunami.
3. Sikap Menristek ini menunjukkan bukti keengganan pejabat publik atas kewajibannya memberikan informasi publik.
4. ISAI menuntut Mneristek mempertanggungjawabkan kelalaiannya dengan mengundurkan diri dari jabatannya..


5. ISAI merekomendasikan:
• Mendorong media massa untuk ikut berperan dalam upaya pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi public.
• DPR dan Pemerintah segera menyelesaikan proses legislasi RUU KMIP
• Pemerintah segera mempercepat pembangunan jaringan “early warning system” di daerah yang berpotensi bencana, khususnya daerah yang rawan gempa bumi dan mengintegrasikannya dengan system penyampaian informasi masyarakat.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan..

Jakarta, 19 Juli 2006
Institut Studi Arus Informasi




Tedjabayu
Koordinator Program

Informasi lebih lanjut: Tedjabayu (0813-16997371)

Sunday, July 16, 2006

UU Rahasia Negara, Masih Perlukah?

Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Jalil menjanjikan bahwa tahun 2005 Pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara agar dapat dibahas secara bersamaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menteri berargumen, kedua RUU itu mengatur persoalan yang kurang lebih sama –prinsip-prinsip keterbukaan dan kerahasiaan informasi-- sehingga ada potensi tumpang tindih jika dibahas secara terpisah. Namun sejauhmanakah urgensi penyatuan pembahasan kedua RUU itu? Apa konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul?

Perbedaan Paradigma Antara UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara

Meskipun terkait erat, UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara memiliki paradigma yang berbeda. Perbedaan ini dilandasi dari tujuan kedua undang-undang tersebut. UU Rahasia Negara bertujuan untuk menjaga keselamatan negara dengan banyak menutup akses publik terhadap berbagai informasi. Sebaliknya UU Kebebasan Memperoleh Informasi bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Bentuk partisipasi yang dimaksud adalah pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini mensyaratkan terbukanya akses publik terhadap berbagai informasi.

Implikasinya, terdapat perbedaan prinsip masing-masing undang-undang. UU Kebebasan Memperoleh Informasi menganut prinsip maximum access limited exemption. Dimana seluruh informasi pada hakikatnya bersifat terbuka. Hanya sebagian kecil informasi yang sifatnya rahasia atau dikecualikan. Penerapan prinsip ini diperjelas sebagai berikut: pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehatia-hatian, pemberlakuan status kerhasiaan terhadap informasi memiliki batas waktu, ruang lingkup badan publik tidak terbatas pada institusi negara tetapi juga institusi di luar negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara. Sedangkan, UU Rahasia Negara justru menganut prinsip limited access maximum exemption. Artinya UU Rahasia Negara memandang seluruh informasi pada hakikatnya bersifat rahasia. Hanya sebagian kecil informasi yang dapat dibuka untuk publik.

Pemerintahan yang dihasilkan pun juga akan berbeda. Penerapan UU Kebebasan Memperoleh Informasi akan menghasilakn sebuah pemerintahan yang terbuka dan transparan. Sementara, UU Rahasia Negara akan menghasilan sebuah pemerintahan yang tertutup

Menilik perbedaan paradigma di atas, penyatuan pembahasan kedua undang-undang itu hampir tidak mungkin dilakukan. Karena, apa yang menjadi concern dari UU Kebebasan Memperoleh Informasi akan bertentangan dengan apa yang menjadi concern dari UU Rahasia Negara. Hal yang lebih urgent untuk dilakukan adalah memfokuskan kepada persinggungan dari kedua undang-undang tersebut. Yaitu aspek pengecualian informasi dalam undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi. Ketimbang menghabiskan energi menyatukan dua hal yang berlawanan.

Prinsip Pengecualian dalam RUU Kebebasan Memperoleh Informasi

Seperti telah disinggung di atas, persinggungan UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU Rahasia Negara adalah adanya prinsip informasi yang dikecualikan dalam UU Kebebasan Memperoleh Informasi.

Persinggungan prinsip-prinsip keterbukaan dan kerahasiaan informasi telah diakomodir oleh RUU Kebebasan Informasi hasil pembahasan DPR periode 1999-2004. Pengakuan terhadap informasi yang dapat dikecualikan itu diatur secara detail dan komprehensif pada pasal 15 RUU ini. Di situ disebutkan sebuah informasi harus dibuka kepada publik kecuali apabila dibukanya informasi tersebut menimbulkan akibat-akibat: (1) informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum meliputi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, (2) mengungkapkan identitas informasi, pelapor, saksi dan/atau korban yang mengetahui adanya kejahatan, (3) mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan kriminal dan terorisme, (4) membahayakan keselamatan dan kehidupan petugas penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau (5) membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.

Kategori kedua adalah informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Kategori ketiga adalah informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang-orang dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, yang meliputi: (1) informasi tentang intelijen, taktik,strategi pertahanan, dan keamanan negara dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; (2) dokumentasi yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan; (3) data perkiraan keamanan militer negara lain; (4) jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangan; dan/atau (5) keadaan pangkalan tempur.

Malah, kategori pengecualian dalam RUU Kebebasan Memperoleh Informasi juga memasukkan kategori yang melindungi privasi seseorang dengan adanya kategori informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat melanggar kerahasiaan pribadi yang meliputi: (1) informasi yang mengungkapkan riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik, psikiatrik, dan psikologik seseorang; (2) mengungkapkan asal-usul atau keterkaitan dengan ras, etnis, keyakinan agama, orientasi seksual, dan politik seseorang; (3) mengungkapkan kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; dan/atau (4) informasi yang mengungkapkan tentang hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, atau rekomendasi kemampuan seseorang.

Tumpang Tindihnya Regulasi Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Adanya kategori informasi yang dikecualikan pada RUU Kebebasan Informasi membuat penyatuan pembahasan kedua RUU tersebut menjadi semakin tidak urgent. Karena itulah yang menjadi inti dari UU Rahasia Negara. Penyatuan pembahasan kedua undang-undang tersebut bukannya menghindari tumpang tindih seperti argumen menkominfo. Penyatuan tersebut justru akan menyebabkan tumpang-tindihnya regulasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Potensi tumpang-tindih diantara kedua regulasi di atas cukup besar saat menentukan klasifikasi sebuah informasi sebagai rahasia negara atau bukan. Terutama apabila UU Rahasia Negara memberikan kewenangan yang cukup besar kepada pejabat pemerintah untuk menentukan apakah sebuah informasi dapat diklasifikasikan dalam rahasia negara.

Bahkan, adanya kategori informasi yang dikecualikan dalam UU Kebebasan Memperoleh Informasi membuat keberadaan UU Rahasia Negara menjadi tidak diperlukan lagi. Lebih bijak jika pembahasan mengenai kerahasiaan negara difokuskan untuk memperluas dan memperinci segala sesuatu yang terkait informasi yang dikecualikan. Dan itu tidak perlu membuat sebuah UU Rahasia Negara.

Penulis: Ahmad Faisol, peneliti di ISAI Jakarta, aktif dalam Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi.

Memberantas Korupsi Melalui Transparansi

Korupsi memang sudah menjadi penyakit kronis Bangsa Indonesia. Semua lini kehidupan tak luput dari serangan korupsi. Saking akutnya, penyakit korupsi yang diderita, lembaga seperti KPU pun ikut terjangkiti. Kasus terbaru adalah penangkapan anggota KPU Mulyana W Kusumah atas tuduhan penyuapan terhadap anggota BPK. Penangkapan ini semakin mengentalkan tuntutan untuk membongkar seluruh dugaan korupsi di KPU. Bahkan, mungkin karena sudah geregetan, Presiden Yudhoyono sampai memerintahkan untuk mengejar koruptor sekalipun sampai ke luar negeri.

Perintah presiden di atas tentu saja angin segar dalam upaya perang terhadap korupsi. Karena akan menjadi amunisi baru pemberantasan korupsi. Dapat dicatat di sini, dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden Yudhoyono juga telah mengambil langkah-langkah serupa seperti menjebloskan para koruptor ke Nusakambangan dan kampanye “Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi”. Mungkin kita tidak perlu lagi meragukan komitmen presiden akan hal ini.

Namun, satu catatan yang dapat diberikan adalah langkah presiden dalam memberantas korupsi di atas masih pada tataran hilir. Langkah itu belum menyentuh sisi hulu atau akar persoalan korupsi itu sendiri. Dikhawatirkan, jika upaya pemerintah berhenti sampai di sini maka langkah-langkah yang telah dilakukan akan sia-sia belaka.

******

Salah satu faktor yang ditengarai sebagai akar membudayanya korupsi di negeri ini adalah ketertutupan praktek penyelenggaraan kekuasaan. Sejarah menunjukkan praktek penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia telah menempatkan negara menjadi dirinya sendiri, lepas dari keterikatannya dengan masyarakat (state of its own). Praktek ini ditandai tidak adanya kekuatan yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena adanya struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif dan proteksionis. Praktek seperti ini dijalankan melalui penciptaan mekanisme dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolir keterlibatan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga, publik hanya sedikit mengetahui mengenai kinerja birokrasi, lahirnya kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pemerintahan dan sebagainya.

Masa pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak terlepas dari praktek-praktek ini. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Mendagri yang mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 7 Tahun 2004 tentang larangan kepada jajaran Depdagri untuk membuka rahasia negara. Kemudian klaim Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bahwa informasi tentang skema pembagian jalur pendidikan formal menjadi jalur mandiri dan jalur standar, seperti yang tertuang dalam draf Rencana Strategis Depdiknas Tahun 2005-2009 adalah rahasia negara. Maka bagi media yang menyebarluaskan informasi itu bisa dikenai tuntutan hukum (Kompas, 14/4).

Bahkan pemerintah nampak sangat serius mendorong proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerahasiaan Negara. Tidak ada yang aneh memang. Karena pelembagaan prinsip rahasia negara memang diperlukan oleh setiap negara termasuk yang liberal sekalipun. Terutama adanya potensi ancaman terhadap keselamatan negara apabila sebuah informasi dibuka. Term "rahasia negara" lazim diberlakukan pada informasi-informasi operasi militer, teknologi persenjataan, kegiatan diplomatik, kegiatan intelijen, kegiatan pengembangan kriptografi.

Namun merujuk pengalaman yang telah ada di berbagai negara proses perahasiaan informasi biasanya hanya didasarkan pada interpretasi subyektif pemerintah. Belum tentu klaim rahasia negara merujuk kepada informasi yang benar-benar dapat mengancam keselamatan negara. Lebih sering, klaim rahasia negara digunakan untuk melindungi kepentingan pemerintah semata. Pengalaman yang terjadi di Indonesia juga menggambarkan hal serupa. Pemerintahan Orde Baru memberikan pelajaran bagaimana klaim rahasia negara digunakan sedemikian rupa untuk menghapus dan melindungi jejak korupsi dan aib birokrasi.

Di sini rahasia negara yang bersifat politis (political secrecy) serta rahasia untuk kepentingan birokrasi (bureaucratic secrecy) dalam praktiknya jauh lebih dominan daripada rahasia negara yang murni (genuine national security secrecy). Dua pernyataan menteri pemerintahan Presiden Yudhoyono di atas dapat dimasukkan dalam domain ini.

*******

Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi mutlak memerlukan perubahan kultur dari pemerintahan yang tertutup menjadi pemerintahan terbuka yang melibatkan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, prasyarat yang diperlukan adalah penegakan prinsip-prinsip transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan pengakuan akan hak publik atas informasi. Karena melalui pengakuan atas penegakan prinsip-prinsip transparansi memberikan jaminan kepada warga negara untuk secara aktif melakukan proses pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta memeriksa dan menguji akuntabilitas pejabat dan badan-badan publik.

Penegakan prinsip-prinsip transparansi tidaklah cukup diserahkan kepada niat baik pemerintah. Harus ada sebuah aturan tertulis yang dapat memaksa pejabat pemerintah untuk bersikap transparan. Salah satunya adalah aturan tertulis yang memaksa pejabat publik agar memberikan informasi publik baik ada permintaan dari masyarakat atau tidak. Karena kenyataan selama ini menunjukkan, ketidaktransparanan pemerintah selamai ini disebabkan tidak adanya regulasi yang dapat memaksa pejabat publik untuk membuka akses informasi kepada publik. Regulasi yang ada hanya memberikan pengakuan terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi tanpa memiliki kekuatan untuk memaksa pejabat publik untuk mengeluarkan informasi.

Dalam konteks ini, Presiden Yudhoyono seyogyanya lebih memprioritaskan pelembagaan prinsip-prinsip kebebasan informasi ketimbang pelembagaan prinsip-prinsip rahasia negara. Pengutamaan pelembagaan rahasia negara hanya akan menjadi celah bagi munculnya penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan negara. Klaim rahasia negara hanya akan menjadi tameng bagi praktik penyimpangan yang terjadi.

Selain itu bagi negara yang sedang sibuk dengan pemberantasan korupsi, pelembagaan prinsip rahasia negara dapat dikatakan kurang bijaksana. Sebab, justru akan menghambat upaya penciptaan kultur transparansi dalam pemerintahan. Padahal Presiden Yudhoyono selalu mengkampanyekan kultur dan sistem pemerintahan yang mendukung bagi perwujudan good and clean governance sebagai prasyarat pembentukan pemerintahan yang transparan.

Ahmad Faisol Aktivis Koalisi untuk Kebebasan Informasi

Check Mail Compose

Rencana Kenaikan Harga BBM dan Hak Publik Atas Informasi

Rencana Kenaikan Harga BBM dan Hak Publik Atas Informasi

Seperti kejadian sebelumnya, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM nampaknya kembali akan menjadi kontroversi. Meskipun belum ada demonstrasi namun pro dan kontra di media massa terus bermunculan. Bukan tidak mungkin, jika rencana ini benar-benar dijalankan akan mendapat resistensi yang cukup besar dari masyarakat. Tulisan ini tidak berpretensi membahas mengenai urgen tidaknya pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Tapi ingin mempersoalkan mengapa setiap rencana kenaikan harga BBM selalu menjadi kontroversi.

Problem yang selalu terulang setiap pemerintah berencana menaikkan harga BBM menunjukkan adanya problem komunikasi politik pemerintah dengan rakyatnya. Alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah untuk menaikkan tarif BBM sesungguhnya masuk akal. Beban subsidi BBM selama ini memang memberatkan anggaran negara. Kenaikan tarif itu juga diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga minyak di pasaran dunia. Namun pemerintah selama ini belum menemukan metode yang tepat untuk menjelaskan alasan-alasan itu kepada publik. Sehingga resistensi akan selalu muncul.

Sebuah komunikasi akan berjalan efektif apabila diantara dua pihak yang menjalankan proses komunikasi berada pada posisi yang setara. Antara komunikan dan komunikator harus memiliki kerangka pemahaman yang sama. Hal inilah yang selama ini kelihatannya tidak pernah terwujud sehingga problem yang sama senantiasa terulang dalam berbagai masalah. Pemerintah selalu melihat dirinya secara hierarkhis lebih tinggi dari masyarakat, sehingga mereka menganggap tidak perlu membuka diri kepada masyarakat. Akibatnya yang muncul adalah proses penyelenggaraan pemerintahan yang tertutup, elitis dan penuh kerahasiaan. Begitu sedikit perkara-perkara yang bisa diketahui oleh publik dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di semua lini (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan di semua level. Ini tidak terlepas dari gejala negara yang telah menjadi dirinya sendiri dan terlepas dari realitas-realitas di masyarakat.

Publik tidak memperoleh akses memadai untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai pengelolaan pemerintahan. Tidaklah mengherankan publik tidak dapat secara aktif terlibat dalam proses-proses pengambilan kebijakan, untuk mengawasi proses pengelolaan kekayaan publik serta untuk mempertanyakan akuntabilitas para pejabat pemerintah. Sehingga, rencana kebijakan pemerintah dapat ditanggapi secara negatif.

Dalam konteks inilah kontroversi yang selalu mengiringi rencana kenaikan harga BBM dapat kita dudukkan. Terlepas dari perdebatan perlu-tidaknya pemerintah menaikkan harga BBM, munculnya reaksi penolakan itu menunjukkan bahwa publik sebenarnya tidak paham benar ikhwal rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Lebih jauh lagi, publik tidak memahami manajemen pengelolaan kekayaan alam itu, yang menurut konstitusi kita “harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan publik”. Dengan kata lain konstitusi menjamin kedaulatan rakyat dalam pengelolaan kekayaan alam termasuk pengelolaan BBM.

Konsep kedaulatan rakyat dalam kaitannya dengan isu BBM dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, perwujudan kedaulatan rakyat dalam bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya migas dan BBM. Partisipasi ini dalam prakteknya memang rumit dan tidak realistis. Sungguh tidak masuk akal jika publik harus dilibatkan dalam proses pengolahan dan pendistribusian BBM karena ini menyangkut keahlian dan kompetensi yang sangat spesifik. Kedua, perwujudan kedaulatan rakyat dalam bentuk keterbukaan pemerintah dalam mengelola sumber daya migas dan BBM di dalamnya. Sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan akses informasi yang memungkinkan masyarakat mengawasi dan mengontrol pengelolaannya. Bentuk kedualatan yang kedua ini dapat diwujudkan dengan pengakuan atas hak masyarakat untuk memperoleh informasi pengelolaan BBM.

Dari kedua bentuk kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumber daya alam yang terbatas jumlahnya di atas, bentuk kedualah yang wajib diwujudkan. Hal ini dijamin pula dalam konstitusi yaitu pasal 28 F UUD 1945 dimana ada jaminan terhadap setiap masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Tertutupnya Akses Informasi Publik Tentang BBM

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa rakyat telah kehilangan kedaulatannya untuk memperoleh informasi pengelolaan BBM. Dalam mengelola minyak dan gas termasuk BBM, pemerintah melaksanakannya dengan struktur birokrasi yang tertutup, ekslusif dan proteksionis. Diciptakan kondisi-kondisi, mekanisme dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolir proses-proses pengelolaan sumber daya alam dari keterlibatan unsur-unsur publik. Tak pelak, begitu sedikit yang dapat diketahui publik tentang manjemen pengelolaan sumber daya minyak dan gas, masyarakat tidak pernah tahu berapa jumlah BBM yang dimiliki oleh Indonesia, berapa tahun usia cadangan BBM yang dimiliki oleh Indonesia, bagaimana pengolahan sumber daya minyak dan gas agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas, berapa biaya yang diperlukan untuk pengolahan tersebut sehingga diperoleh harga yang harus ditebus oleh masyarakat untuk memanfaatkan BBM.

Ketiadaan akses informasi mengenai hal-ihwal pengelolaan BBM, membuat masyarakat tidak dapat berpartisipasi mengawasi proses pengelolaan BBM : dari proses eksploitasi, pengolahan (produksi) hingga distribusinya. Dalam konteks ini, jelas tidak memadai jika pemerintah hanya mengumumkan alasan-alasan kenaikan tarif BBM itu melalui media. Karena media bisa diakses dan bisa dipahami oleh khalayak yang sangat terbatas. Diseminasi alasan-alasan kenaikan tarif BBM melalui media massa jelas tidak memenuhi prinsip-prinsip mudah diakses, murah dan terjangkau yang semestinya menjadi prinsip dasar bagi mekanisme transparansi dan pelayanan informasi di lembaga-lembaga publik. Terabaikannya hak atas informasi itu menjelaskan mengapa setiap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM selalu terbentur oleh kerasnya reaksi penolakan masyarakat.

Membuka Akses Informasi Publik Tentang BBM
Guna menghindari kontroversi setiap ada rencana kenaikan harga BBM di masa mendatang, maka harus dilakukan perubahan dalam pengelolaannya. Perubahan itu dapat dimulai dengan mengubah manajemen pengelolaan BBM menjadi lebih transparan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perilaku pemerintah yang tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dibanding masyarakat dalam hal manajemen pengelolaan BBM. Fungsi ini dapat dilakukan melalui pembukaan akses informasi publik atas manajemen pengelolaan BBM.

Untuk menjamin fungsi tersebut dapat berjalan maksimal perlu adanya regulasi. yang secara tegas mengatur prosedur atau mekanisme untuk memperoleh semua informasi pengelolaan BBM. Termasuk di dalamnya informasi mengenai pengelolaan migas dan pengadaan BBM, lembaga mana yang dapat dimintai informasi, dan sanksi-sanksi apa yang dijatuhkan kepada lembaga yang tidak memberikan informasi.

Regulasi tersebut diperlukan karena berbagai regulasi yang ada sekarang hanya mengatur hak publik untuk mengetahui informasi, namun tidak ada aturan khusus yang mewajibkan pejabat untuk memberikan informasi. Padahal, karena vitalnya BBM dalam kehidupan masyarakat, pemerintah seharusnya pro aktif memberikan informasi kepada publik mengenai segala sesuatu yang menyangkut pengelolaannya. Dengan demikian, masyarakat memiliki pemahaman sehingga bila ada rencana kenaikan harga BBM tidak akan menjadi kontroversi lagi.

Penulis: Ahmad Faisol, peneliti ISAI Jakarta, aktif di Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi

Berharap Dari Era TV Lokal

Era siaran TV nasional telah berakhir. Memang sesuai amanat UU No 32/2002 tentang penyiaran, siaran TV nasional harus berakhir tahun 2005. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Komisi I DPR pun sedang menyelesaikan finalisasi rancangan peraturan pemerintah tentang lembaga penyiaran swasta yang melarang siaran TV nasional. Artinya jangkauan siaran TV akan dibatasi. Tidak mengherankan apabila ada yang menyebut bahwa sekarang ini adalah era TV lokal.

Seiring dengan terbitnya era TV lokal saya mencatat ada dua harapan adanya TV lokal yang akan tumbuh di berbagai daerah. Pertama, stasiun TV lokal mampu menghadirkan keragaman tayangan. Kedua, stasiun TV lokal mampu melakukan semacam public education bagi masyarakat yang ada dalam jangkauan siarannya.

*****

Kehadiran TV lokal terutama memang dimaksudkan untuk mengakomodir content-content lokal yang selama ini terpinggirkan dari layar kaca. Namun saya kira tidak cukup hanya berhenti sampai di sini. TV lokal yang ada juga harus mampu menjaga keragaman tayangan. Sebab, jika nanti TV lokal juga terjebak ke dalam keseragaman tayangan, hanya akan memindahkan problem dari TV nasional ke TV lokal.

Salah satu problem dunia pertelevisian sekarang adalah homogenisasi tayangan. Ketika salah satu stasiun TV sukses dengan ajang pencarian bibit penyanyi, TV lain akan meniru dengan format yang sama hanya jenis musiknya yang berbeda. Begitu pula dengan kesuksesan tayangan sinetron bernuansa religi segera ditiru oleh stasiun TV lain sehingga sinetron religi membanjiri dunia layar kaca.

Tidak hanya tayangan hiburan, tayangan jurnalistik pun dihinggapi gejala serupa. Tayangan berita politik yang hangat, sensasional dan menggebu-gebu menjadi menu seragam di seluruh stasiun televisi. Mereka memberitakan hal yang sama dengan perspektif dan gaya penyajian yang sama pula. Ketika tayangan berita kriminal dianggap sukses, tidak ada satu stasiun televisi pun yang tidak membuat program berita kriminal.

Sehingga sulit rasanya untuk menemukan stasiun televisi yang memiliki spesialisasi tertentu. Metro TV yang dulunya mengklaim sebagai stasiun televisi berita sudah sulit mempertahankan image tersebut. Karena Metro TV pun juga harus menayangkan film dan hiburan musik. Sehingga Veven Wardhana (2001) dengan menggelitik menyebutkan, jika kita menutup logo stasiun televisi yang ada di pojok kiri atau kanan layar maka kita akan susah mengetahui stasiun televisi mana yang sedang bersiaran.

Argumen yang biasanya mendasari fenomena penyeragaman tersebut, adalah tuntutan keberadaan stasiun televisi swasta komersial. Dengan rating sebagai patokan keberhasilan, stasiun televisi akan mengekor tayangan-tayangan yang memiliki rating tinggi. Karena dengan cara seperti ini mereka akan mendapatkan pemasukan iklan yang cukup besar.

Berdasar fenomena di atas, rasanya kita pantas untuk khawatir. Sebab, keberadaan TV lokal yang kebanyakan merupakan stasiun televisi swasta komersial. Oleh karenanya bukan tidak mungkin problem keseragaman akan bergeser. Tentunya, sebagai stasiun televisi swasta mereka akan menerapkan prinsip serupa. Tayangan apa yang menjadi top rating pasti akan dijiplak habis-habisan demi mendapatkan iklan. Bahkan jika tayangan top rating merupakan tayangan stasiun TV nasional, mereka pasti tidak segan mengadopsi dalam versi lokal. Atau jika ada salah satu tayangan sebuah TV lokal dianggap sukses, bukan tidak mungkin TV lokal di daerah lain akan menirunya. Apabila ini terjadi, bukan hanya keseragaman yang muncul, tapi content lokal pun akan menghilang. Lokalitas pun hanya menjadi impian.

*****

Harapan lain dari berseminya TV lokal adalah kemampuannya melakukan pendidikan publik kepada masyarakat yang dilayaninya. Harapan ini bersumber kenyataan bahwa stasiun televisi selain menjadi entitas modal juga memiliki kewajiban sosial. Ini merupakan konsekuensi dari televisi yang menggunakan ranah publik frekuensi sebagai basis material siarannya.

Problem lain yang juga dirasakan muncul dari tayangan televisi sekarang adalah maraknya tayangan yang bersifat “banal”. Dalam arti ada fenomena merajalelanya tayangan-tayangan yang dapat dianggap sebagai suatu yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna bagi publik keseluruhan. Berbagai acara sinetron, reality show, kuis dan infotainment mengisi sebagian besar slot siaran televisi. Meskipun siaran itu jelas tidak memberikan makna apa-apa bagi publik. Tayangan seperti ini akan semakin mengaburkan mana yang esensial bagi masyarakat dan mana yang tidak. Masyarakat akan semakin susah membedakan mana yang berguna dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pendidikan publik dan pencerdasan bangsa. Sebab, energi masyarakat sudah tersedot untuk tayangan remeh-temeh seperti kawin cerai artis, kekhawatiran pacar selingkuh atau tidak serta urusan remeh -temeh lain yang ditayangkan televisi.

Dampaknya dalam jangka panjang akan terjadi depolitisasi masyarakat. Dimana akan tercipta sebuah budaya politik yang lemah, penuh apatisme dan egoisme yang sangat kental di masyarakat. Menurut Mc Chesney (1997) keadaan ini akan menghancurkan tiga syarat terbentuknya masyarakat yang demokratis: hilangnya ketimpangan sosial, terbentuknya kesadaran kolektif untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, dan adanya komunikasi politik yang memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembentukan kebijakan publik.

Kehadiran TV lokal diharapkan menjadi penuntun bagi masyarakat yang dia layani, agar tercipta masyarakat yang mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi. Sekaligus masyarakat yang secara aktif terlibat dalam kebijakan publik. Harapan ini sekaligus menjadi tantangan yang harus dijawab oleh era TV lokal. Mampukah era TV lokal mampu menghadirkan keragaman tayangan dan memberikan pendidikan publik bagi masyarakatnya? Semoga.

”The Guardian” dan UU Kebebasan Informasi

Oleh Ahmad Faisol

Manfaat yang paling diharapkan dari keberadaan media massa adalah untuk menjadi anjing penjaga (watchdog). Artinya, media massa menjadi pengawas penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan masyarakat. Perilaku inilah yang diperlihatkan oleh salah satu media Inggris, The Guardian. Media ini mengungkap terjadinya skandal dalam penjualan 100 unit tank Scorpion dari Inggris ke Indonesia kurun waktu 1994-1996. Pemberitaan The Guardian bergema di Indonesia dengan tuntutan penuntasan indikasi korupsi yang terjadi.
Namun, patut dipertanyakan mengapa koran itu mampu mengungkap kasus yang sedemikian besar? Lalu bagaimana dengan media di Indonesia?Apakah mereka juga memiliki kemampuan tersebut? Apa yang telah dilakukan oleh The Guardian sebenarnya mampu dilakukan oleh setiap media massa. Karena, sudah menjadi kodrat media untuk selalu berteriak melihat penyimpangan yang terpampang di depan matanya. Jika sekarang pelakunya The Guardian ini hanyalah persoalan lingkungan tempat media ini hidup. The Guardian mampu mengungkap kasus ini karena adanya jaminan dari Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi yang diterapkan di Inggris.
Dengan payung undang-undang tersebut, The Guardian berhasil memiliki akses terhadap data-data yang terungkap di persidangan persengketaan fee penjualan tank Scorpion. Sehingga, meskipun pihak-pihak yang bersengketa sepakat berdamai, namun The Guardian dapat membuka kasus ini kepada publik. Tanpa adanya UU Kebebasan Memperoleh Informasi tidak mungkin kasus ini mampu diungkap. Sebab, di Inggris pemberian komisi dalam kontrak-kontrak besar pernah dianggap sebagai hal yang biasa. Aturan yang melarang pemberian komisi baru ada tahun 2002. Itupun tidak berlaku surut.

Tak Cukup Efektif
The Guardian mampu meyakinkan bahwa kasus ini menyangkut kepentingan publik. Media ini berargumen pembayaran Scorpion tersebut sampai sekarang belum lunas akibat dijadwal ulang karena krisis ekonomi melanda Indonesia. Akibatnya lembaga negara yang bergerak dalam asuransi ekspor-impor menanggung tunggakan 93 juta pound ke perusahaan penjual tank. Argumen inilah yang akhirnya diikuti oleh pengadilan. Sehingga dengan alasan agar tidak melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi, pengadilan mengizinkan Guardian membuka data-data yang terungkap di pengadilan.
Bagaimana dengan media di Indonesia? Nampaknya media di Indonesia tidak seberuntung rekan-rekannya di Inggris. Di Indonesia belum ada jaminan hukum yang memungkinkan media massa melakukan fungsi pengawasan secara maksimal. Oleh karena itu, banyak sekali tekanan-tekanan terhadap media massa yang mencoba melakukan fungsi pengawasan. Sekadar contoh, pembredelan media massa (Tempo, Editor, dan Detik) yang mencoba menelusuri dugaan penyimpangan pembelian kapal perang eks Jerman Timur di masa orde baru.
Tekanan dalam bentuk berbeda juga masih dialami media massa memasuki era reformasi. Adanya UU Pers no 40/1999 tidak cukup menjadi jaminan media massa melaksanakan fungsi pengawasan. Undang-undang ini tidak cukup efektif untuk memaksa pejabat dan badan pemerintah memberikan informasi berkaitan dengan kasus-kasus korupsi tertentu. Para pejabat tersebut dapat berlindung di balik klausul rahasia negara, rahasia jabatan dan rahasia pribadi yang ada dalam KUHP dan produk hukum lain. Bahkan justru wartawan dapat dituntut balik dengan tuduhan melanggar rahasia negara atau melakukan pencemaran nama baik.
Bahkan dengan alasan melakukan pencemaran nama baik, banyak wartawan yang dipidanakan. Sebagai misal vonis pidana yang menimpa Bambang Harimurti dari Majalah Tempo dan Risang Bima Wijaya dari Radar Jogja atas berita yang mereka turunkan. Padahal di balik kerja jurnalistik seorang wartawan tersembunyi kepentingan umum: hak-hak publik untuk mendapatkan informasi dan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik.
Keamanan Usaha
Selain tekanan dari lingkungan luar media, lingkungan media massa sendiri juga kurang kondusif. Sebagian pimpinan media massa hanya melihat media yang dipimpin sebagai entitas ekonomi. Dengan demikian mengamankan aset atau menaikkan tiras adalah alasan utama dalam menurunkan sebuah berita. Dampaknya, upaya-upaya menyingkap adanya penyimpangan bisa dikesampingkan. Apalagi bila hal tersebut berakibat buruk pada keamanan usaha atau kenaikan oplah dan iklan.
Merujuk pengalaman The Guardian di atas, diperlukan sebuah regulasi hukum yang dapat memberikan jaminan hukum kepada media. Jaminan hukum ini akan melindungi media massa dalam melakukan fungsi pengawasan. Regulasi ini harus mampu menjadi payung. Maksudnya, regulasi tersebut dapat mengkoordinasikan dan menyelaraskan berbagai aturan yang menjamin pelaksanaan fungsi pengawasan media massa.
Regulasi yang urgent dengan hal ini adalah sebuah UU Kebebasan Memperoleh Informasi. Sebab, undang-undang ini akan mampu menghilangkan kendala ketertutupan akses informasi. Kendala yang sering ditemui media massa ketika mengungkap kasus korupsi atau penyimpangan lainnya.
Selain itu, UU Kebebasan Memperoleh Informasi juga dapat melindungi media massa dari segala bentuk perilaku yang represif baik langsung maupun tak langsung. Undang-undang ini akan melindungi media massa dan wartawan dari segala konsekuensi akibat kerja jurnalistiknya.
Dengan demikian, UU Kebebasan Informasi akan membentuk lingkungan yang kondusif bagi media massa untuk melakukan pengawasa. Tekanan-tekanan terhadap media massa dapat dihilangkan dengan undang-undang ini. Hilangnya tekanan ini, diharapkan juga mengubah perilaku sebagian lingkungan dalam media. Akhirnya, kita pun dapat berharap media massa di Indonesia ”galak” terhadap segala jenis penyimpangan.

Penulis adalah peneliti di ISAI Jakarta dan aktif di Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi

INDONESIA: Presidential candidates violate TV ad regulations

The Jakarta Post
Friday, June 25, 2004

By A. Junaidi

Two presidential candidates have aired television ads more than the allowed 10 times a day, according to non-governmental organizations.

Hamzah Haz and running mate Agum Gumelar aired their campaign ads more than 15 times a day between June 6 and June 10 on RCTI and Global TV, according to the Institute for the Study of the Free Flow of Information (ISAI) and the Media Coalition for Free and Fair Elections. The NGOs based their findings on data from the Nielsen Media Research.

Amien Rais and running mate Siswono Yudhohusodo aired ads 17 times a day on June 6 on RCTI, according to the NGOs.

"The two pairs violated the regulation, although they spent less than the three other candidates," Ahmad Faisol of ISAI said during a press conference at the Election Supervisory Committee (Panwaslu) office after reporting the findings to the elections body.

Hamzah and Agum are running under the United Development Party (PPP), while Amien and Siswono are running under the National Mandate Party (PAN).

The government has designated the entire month of June as the campaign period for the July 5 presidential election.

According to data, presidential candidate Megawati Soekarnoputri from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) spent Rp 6.5 billion on television ads from June 6 to June 10, Faisol said.

This dwarfed the Rp 1.7 billion (US$180,851) spent by Hamzah and the Rp 1.37 billion spent by Amien during the same period, Faisol said.

He said Wiranto and his running mate Solahuddin Wahid, who are running under the Golkar Party, spent Rp 6.02 billion during this period, while Susilo Bambang Yudhoyono and running mate Jusuf Kalla spent Rp 4.6 billion.

"Although they spent much more than Hamzah-Agum and Amien-Siswono, they did not violate any regulations," Faisol said.

Date Posted: 6/25/2004